KEMAJEMUKAN AGAMA, RAS DAN ETNIK
DP: Rizki Ananda, M.Pd
A.
Kemajemukan
Masyarakat Indonesia
Istilah Masyarakat Indonesia Majemuk pertama kali
diperkenalkan oleh Furnivall dalam bukunya Netherlands India: A Study of Plural
Economy (1967), untuk menggambarkan kenyataan masyarakat Indonesia yang terdiri
dari keanekaragaman ras dan etnis sehingga sulit bersatu dalam satu kesatuan
sosial politik. Kemajemukan masyarakat Indonesia ditunjukkan oleh struktur
masyarakatnya yang unik, karena beranekaragam dalam berbagai hal. Faktor yang
menyebabkan kemajemukan masyarakat Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Keadaan geografi Indonesia yang merupakan
wilayah kepulauan yang terdiri dari lima pulau besar dan lebih dari 13.000
pulau kecil sehingga hal tersebut menyebabkan penduduk yang menempati satu
pulau atau sebagian dari satu pulau tumbuh menjadi kesatuan suku bangsa, dimana
setiap suku bangsa memandang dirinya sebagai suku jenis tersendiri.
b. Letak Indonesia diantara Samudra Indonesia
dan Samudra Pasifik serta diantara Benua Asia dan Australia, maka Indonesia
berada di tengah-tengah lalu lintas perdagangan. Hal ini mempengaruhi
terciptanya pluralitas/kemajemujkan agama.
c. Iklim yang berbeda serta struktur tanah di
berbagai daerah kepulauan Nusantara ini merupakan faktor yang menciptakan
kemajemukan regional.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa kemajemukan
Indonesia tampak pada perbedaan warga maryarakat secara horizontal yang terdiri
atas berbagai ras, suku bangsa, agama, adat dan perbedaan-berbedaan kedaerahan.
Menurut Robertson (1977), ras merupakan pengelompokan manusia berdasarkan
ciri-ciri warna kulit dan fisik tubuh tertentu yang diturunkan secara turun
temurun.Untuk itu ras yang hidup di Indonesia antara lain Ras Melayu Mongoloid,
Weddoid dan sebagainya. Sedangkan untuk suku bangsa / etnis yang tersebar di
Indonesia sangatlah beraneragam dan menurut Hildred Geertz di Indonesia
terdapat lebih dari 300 suku bangsa, dimana masing-masing memiliki bahasa dan
identitas kebudayaan yang berbeda. Dalam kemajemukan agama di Indonesia secara
umum agama yang berkembang di Indonesia adalah Islam, Kristen Protestan,
Katholik, Hindu, Budha. Selain itu terdapat agama-agama lain seperti Kong Hu
Chu, Kaharingan di Kalimantan, Sunda Kawitan (suku Baduy) serta aliran
kepercayaan.
Dengan demikian keanekaragaman tersebut merupakan
suatu warna dalam kehidupan, dan warna-warna tersebut akan menjadi serasi,
indah apabila ada kesadaran untuk senantiasa menciptakan dan menyukai
keselarasan dalam hidup melalui persatuan yang indah yang diwujudkan melalui
integrasi. Ciri-ciri masyarakat majemuk menurut Vandenberg :
a. Segmentasi ke dalam kelompok-kelompok.
b. Kurang mengembangkan konsensus.
c. Sering mengalami
konflik.
d. Integrasi sosial atas paksaan.
e.dominasi
suatu kelompok atas kelompok lain
B.
Pengaruh
Kemajemukan Masyarakat Indonesia
kemajemukan masyarakat Indonesia berdasarkan suku
bangsa,ras dan agama dapat dibagi atas pengaruh positif dan negatif. Pengaruh
positifnya adalah terdapat keanekaragaman budaya yang terjalin serasi dan
harmonis sehingga terwujud integrasi bangsa. Pengaruh negatifnya antara lain :
a.
Primordial
Karena adanya sikap primordial kebudayaan daerah,
agama dan kebiasaan di masa lalu tetap bertahan sampai kini. Sikap primordial
yang berlebihan disebut etnosentris. Jika sikap ini mewarnai interaksi di
masyarakat maka akan timbul konflik, karena setiap anggota masyarakat akan
mengukur keadaan atau situasi berdasarkan nilai dan norma kelompoknya. Sikap
ini menghambat tejadinya integrasi sosial atau integrasi bangsa. Primordialisme
harus diimbangi tenggang rasa dan toleransi.
b.
Stereotip Etnik
Interaksi sosial dalam masyarakat majemuk sering
diwarnai dengan stereotip etnik yaitu pandangan (image) umum suatu kelompok
etnis terhadap kelompok etnis lain (Horton & Hunt). Cara pandang stereotip
diterapkan tanpa pandang bulu terhadap semua anggota kelompok etnis yang
distereotipkan, tanpa memperhatikan adanya perbedaan yang bersifat individual.
Stereotip etnis disalah tafsirkan dengan menguniversalkan beberapa ciri khusus
dari beberapa anggota kelompok etnis kepada ciri khusus seluruh anggota etnis.
Dengan adanya beberapa orang dari sukubangsa A yang tidak berpendidikan formal
atau berpendidikan formal rendah, orang dari suku lain (B) menganggap semua
orang dari sukubangsa A berpendidikan rendah. Orang dari luar suku A menganggap
suku bangsanya yang paling baik dengan berpendidikan tinggi. Padahal anggapan
itu bisa saja keliru karena tidak semua orang dari sukubangsa di luar
sukubangsa A berpendidikan tinggi, banyak orang dari luar sukubangsa A yang
berpendidikan rendah. Jika interaksi sosial diwarnai stereotip negatip, akan
terjadi disintegrasi sosial. Orang akan memberlakukan anggota kelompok etnis
lain berdasarkan gambaran stereotip tersebut. Agar integrasi sosial tidak
rusak, setiap anggota masyarakat harus menyadari bahwa selain sukubangsa ada
faktor lain yang mempengaruhi sikap seseorang, yaitu pendidikan, pengalaman,
pergaulan dengan kelompok lain, wilayah tempat tinggal, usia dan kedewasaan
jiwa.
c.
Potensi Konflik
Ciri utama masyarakat majemuk (plural society)
menurut Furnifall (1940) adalah kehidupan masyarakatnya berkelompok-kelompok
yang berdampingan secara fisik, tetapi mereka (secara essensi) terpisahkan oleh
perbedaan-perbedaan identitas sosial yang melekat pada diri mereka
masing-masing serta tidak tergabungnya mereka dalam satu unit politik tertentu.
Mungkin pendekatan yang relevan untuk melihat
persoalan masyarakat majemuk ini adalah bahwa perbedaan kebudayaan atau agama
memang potensial untuk mendestabilkan negara-bangsa. Karena memang terdapat
perbedaan dalam orientasi dan cara memandang kehidupan ini, sistem nilai yang
tidak sama, dan agama yang dianut masing-masing juga berlainan. Perbedaan di
dalam dirinya melekat (inherent) potensi pertentangan, suatu konflik yang tersembunyi
(covert conflict). Namun demikian, potensi itu tidak akan manifes untuk menjadi
konflik terbuka bila faktor-faktor lain tidak ikut memicunya. Dan dalam konteks
persoalan itu nampaknya faktor ekonomi dan politik sangat signifikan dalam
mendorong termanifestasinya konflik yang tadinya tersembunyi menjadi terbuka.
Furnivall sendiri sudah mensinyalir bahwa konflik
pada masyarakat majemuk Indonesia menemukan sifatnya yang sangat tajam, karena
di samping berbeda secara horisontal, kelompok-kelompok itu juga berbeda secara
vertikal, menunjukkan adanya polarisasi. Artinya bahwa disamping
terdiferensiasi secara kelompok etnik agama dan ras juga ada ketimpangan dalam
penguasaan dan pemilikan sarana produksi dan kekayaan. Ada ras, etnik, atau
penganut agama tertentu yang akses dan kontrolnya pada sumber-sumber daya
ekonomi lebih besar, sementara kelompok yang lainnya sangat kurang. Kemudian
juga, akses dan kontrol pada sektor politik yang bisa dijadikan instrumen untuk
pemilikan dan penguasaan sumber-sumber daya ekonomi, juga tidak menunjukkan
adanya kesamaan bagi semua kelompok.
Di Kalimantan Barat dan Tengah para perantau Madura
yang beragama Islam setahap demi setahap bisa menguasai jaringan produksi dan
distribusi ekonomi. Demikian pula dengan orang-orang Bugis-Makassar dan Buton
yang umumnya beragama Islam di kawasan Timur Indonesia telah membuat jaringan
yang cukup luas dalam sektor ekonomi ini. Termasuk dalam kasus ini adalah
orang-orang Cina yang sebagian besar beragama non-Islam yang menguasai sebagian
besar sarana dan aset produksi serta jaringan distribusi di kota-kota besar dan
menengah Indonesia. Ketika Orde Baru memegang tampuk pemerintahan tampaknya
ketimpangan ekonomi dan politik antar kelompok etnik dan ras ini tidak secara
sungguh-sungguh dicoba untuk dihapuskan. Malah pemihakan pada kelompok tertentu
sangat kentara, sementara kelompok yang lain mengalami proses marjinalisasi. Di
sinilah polarisasi antar kelompok masyarakat yang berbeda secara kultural dan
agama itu menjadi semakin tajam. Di samping itu, pemerintah dan masyarakat di
daerah secara politik betul-betul lemah, tidak memiliki saluran institusional
yang memungkinkan kepentingan dan kebutuhan mereka dapat diakomodasi. Di sini
sentralisme adalah ciri utama sistem politik negara Orde Baru.
Memang selama rezim Orde Baru berkuasa konflik itu
tidak banyak muncul, kalaupun terjadi ledakannya tidak besar dan akan segera
diredam secara represif. Namun pendekatan keamanan itu tidak menghilangkan
potensi konflik tersebut, karena akar persoalannya tidak dipecahkan. Hubungan
antar kelompok tetap dalam situasi ketegangan, menunggu momen untuk meledak.
Karena itu, ketika rezim Orde Baru mulai kehilangan legitimasi dan kemudian
jatuh, konflik yang tadinya laten menjadi terbuka.
Hal ini dikarenakan, bahwa pengkotakan masyarakat
hanya mampu menekan eskalasi konflik dan disharmoni sosial dalam masyarakat,
namun ia tidak mampu menghilangkan poensi-potensi konflik yang telah lama dan
masih terpendam dalam masyarakat. Konflik dan disharmoni sosial dapat muncul
karena mereka, kelompok-kelompok sosial tersebut tetap hidup berdampingan
secara fisik dalam suatu komunitas masyarakat. Pembenaran atas ketidaksamaan,
pada hakekatnya adalah juga sebentuk pembenaran terhadap adanya potensi potensi
konflik dalam masyarakat yang pluralis.