Teori Belajar IPA di SD
A. Pengertian Teori dan Belajar
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), teori memiliki banyak arti. Pertama, pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan yang didukung oleh data dan argumentasi, kedua, penyelidikan eksperimental yang mampu menghasilkan fakta berdasarkan ilmu pasti, logika, metodologi, dan argumentasi, ketiga, asas dan hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau pun pengetahuan, dan keempat, pendapat, cara, atau aturan untuk melakukan sesuatu.
Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon.
B. Teori-Teori Belajar
1. Teori Belajar Secara Filosofis
a. Teori Belajar Behaviorisme
Teori Behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktik pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.
Teori Behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
b. Teori Belajar Kognitivisme
Teori belajar kognitif mulai berkembang pada abad terakhir sebagai protes terhadap teori perilaku yang yang telah berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana informasi diproses.
Peneliti yang mengembangkan teori kognitif ini adalah Ausubel, Bruner, dan Gagne. Dari ketiga peneliti ini, masing-masing memiliki penekanan yang berbeda. Ausubel menekankan pada apsek pengelolaan (organizer) yang memiliki pengaruh utama terhadap belajar.Bruner bekerja pada pengelompokkan atau penyediaan bentuk konsep sebagai suatu jawaban atas bagaimana peserta didik memperoleh informasi dari lingkungan.
c. Teori Belajar Konstruktivisme
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan dapat diartikan Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. Konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Dengan teori konstruktivisme siswa dapat berfikir untuk menyelesaikan masalah, mencari idea dan membuat keputusan. Siswa akan lebih paham karena mereka terlibat langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih pahamdan mampu mengapliklasikannya dalam semua situasi. Selian itu siswa terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep.
2 Teori Belajar Secara Psikologis
a. Teori Belajar Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek–aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.
Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya a. Connectionism ( S-R Bond) menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
1. Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus – Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
2. Law of Readiness, artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pendayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
3. Law of Exercise, artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih.
b. Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
1. Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
2. Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
c. Operant Conditioning menurut B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
1. Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat.
2. Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah. Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
d. Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling).
Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya yang disebutContiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang (the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method), Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.
Kelebihan Teori Behavioristik
1. Dapat mengganti stimulus yang satu dengan stimulus lainnya dan seterusnya sampai reson yang diinginkan muncul
2. Tori ini cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur kecepatan,spontanitas,dan daya tahan
3. Teori behavioristik juga cocok diginakan untuk melatih anak-anak yang msih membutuhkan dominasi peran orang dewasa,suak mengulangi dan dibiasakan,suka meniru dan sengan dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung.
Kekurangan Teori Behavioristik
1. Cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir linier,konvergen,tidak kreatif,tidak roduktif dan cenderung mendudkkan siswa sebagai individu yang pasif
2. Pembelajaran siswa yang berpusat oada guru dan bersifat mekanistik dan hanya berorientasi pada hasil yang diamati dan di ukur.
3. Penerapan metode yang salah dalam pembeljaran mengakibatkan terjadinya poses oembelajaran yang tidak menyenangkan bagi siswa.
2. Teori Belajar Kognitif Piaget
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu :
a. Sensory motor
b. Pre operational
c. Concrete operational
d. Formal operational.
Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah “the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of assimilation”.
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru.Guru hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
1. Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5. Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
3. Teori Belajar Pemrosesan Informasi
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu:
1. Motivasi
2. Pemahaman
3. Pemerolehan
4. Penyimpanan
5. Ingatan Kembali
6. Generalisasi
7. Perlakuan
8. Umpan balik.
4. Teori Belajar Gestalt
Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
a. Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship), yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.
b. Kedekatan (proxmity), bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
c. Kesamaan (similarity), bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.
d. Arah bersama (common direction), bahwa unsur-unsur bidang pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
e. Kesederhanaan (simplicity), bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan.
f. Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak lengkap.
Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
a. Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.
b. Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral. Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).
c. Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
d. Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
a. Pengalaman tilikan (insight), bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.
b. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning), kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.
c. Perilaku bertujuan (pusposive behavior), bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.
d. Prinsip ruang hidup (life space), bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
e. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat. Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.
2.3 Pendekatan Pembelajaran IPA di SD
Pendekatan pembelajaran adalah titik tolak (guru) terhadap proses pembelajaran, yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran. Beberapa Pendekatan Dalam Pembelajaran IPA di SD
a. Pendekatan Ekspositori
Pendekatan ini lebih bersifat “memberi tahu”. Artinya guru lebih dominan dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini siswa bersifat pasif, hanya menerima pelajaran yang diberikan oleh guru. Yang dilakukan guru pada pendekatan ini umumnya adalah memberi ceramah, mendemonstrasikan sesuatu dan lain-lain.
Keuntungan dengan menggunakan pendekatan ini adalah bahwa bahan pelajaran dapat diselesaikan dengan cepat dan dimengerti oleh siswa. Pendekatan ini dapat digambarkan sebagai DDCH (Duduk, Dengar, Catat, Hafal). Sehingga dalam pendekatan ini gurunya aktif sedangkan siswanya pasif.
b. Pendekatan Inkuiri
Pendekatan ini lebih bersifat “mencari tahu”. Artinya siswa sangat aktif mencari sendiri informasi yang ia perlukan. Dalam pendekatan ini dominasi guru lebih sedikit. Dari penjelasan tersebut, dapat kita ketahui bahwa pendekatan inkuari bertolak belakang dengan pendekatan ekspositori. Pendekatan ini menginginkan keaktifan siswa untuk memperoleh informasi sampai menemukan konsep-konsep IPA. Dalam pendekatan ini guru membimbing siswa menemukan sendiri konsep-konsep itu melalui kegiatan belajarnya.
Ditinjau dari kadar keterlibatan guru dalam pembelajaran, pendekatan ini terdiri dari :
1. Pendekatan Free Discovery (Penemuan Bebas)
Dengan pendekatan ini siswa diberi kebebasan untuk memilih sendiri masalah yang akan dipelajari maupun cara untuk memecahkan masalah tersebut. Pendekatan ini cocok bagi mereka yang sudah memiliki kemampuan untuk berfikir formal. Namun menurut pengalaman piaget, ternyata tidak banyak anak usia SD yang sudah mencapai tingkat pemikiran semacam itu.
2. Pendekatan Guide Discovery (Penemuan Terbimbing).
Pendekatan ini dapat dikatakan sebagai gabungan dari pendekatan ekspositori dengan inkuari, tujuannya adalah untuk mendapatkan efektivitas yang optimal khususnya bagi anak usia SD. Carin dan Sund (1985) mengatakan anak-anak yang masih sangat muda, perlu mendapat bimbingan guru yang relatif besar.
Pendekatan ini merupakan pendekatan yang paling tepat digunakan untuk anak usia SD. Dalam hal ini siswa aktif melakukan eksplorasi atau observasi atas bimbingan guru. Kegiatan ini dapat meningkatkan intelektual siswa, dan hasil belajar menjadi lebih tinggi serta dapat mengembangkan sikap positif terhadap IPA.
3. Pendekatan Eksploratory Discovery (Penemuan Eksploratorik). Dalam pendekatan ini tugas guru antara lain:
a. Melontarkan masalah-masalah dan mengundang siswa untuk memecahkan masalah tersebut.
b. Memberi motivasi belajar.
c. Membantu siswa yang benar-benar memerlukan agar tidak mengalami jalan buntu atau frustasi.
d. Bila perlu, guru sebagai narasumber.
Keuntungan dengan menggunakan pendekatan ini antara lain:
a. Dapat memberi kemampuan awal kepada siswa untuk melakukan sendiri suatu penelitian.
b. Dapat memacu keberanian siswa untuk melakukan penelitian secara mandiri dimasa yang akan datang.
c. Pendekatan Proses
Pendekatan ini senada dengan pendekatan inkuari, karena pendidikan ini menginginkan keaktifan siswa dan juga guru tidak dominan dalam proses pembelajaran tetapi bertindak sebagai organisator dan fasilitator saja.
Pendekatan ini memiliki ciri-ciri khusus:
a. Ilmu pengetehuan tidak dipandang sebagai produk semata tetapi sebagai proses.
b. Siswa dilatih untuk terampil dalam memperoleh dan memproses informasi dalam pikirannya.
d. Pendekatan Konsep
Konsep adalah suatu ide yang menghubungkan beberapa fakta. Dalam pencapaian atau pembentukan konsep biasanya peserta didik memerlukan benda-benda konkrit untuk diotak-atik, eksplorasi fakta-fakta dan ide-ide secara mental. Pendekatan konsep memerlukan lebih dari sekedar menghafal, lebih menunjukkan gambaran yang lebih tepat tentang IPA.
e. Pendekatan STM
Pendekatan ini diyakini oleh para pakar pendidikan IPA di Amerika sebagai pendidikan IPA yang paling tepat sebab mempersiapkan murid-murid untuk menghadapi abad ke 21 yaitu abad ketergantungan manusia kepada sains dan teknologi. Rasional dari pendekatan ini adalah segala penemuan dalam bidang sains dan teknologi dapat untuk kesejahteraan manusia. Didalam pendekatan IPA dengan pendekatan STM, guru membantu murid-murid mempelajari sains dengan menggunakan isu-isu dalam masyarakat yang merupakan dampak sains dan teknologi sebagai penata pembelajaran IPA.
f. Pendekatan Factual
Pendekatan ini menekankan penemuan fakta-fakta dalam IPA . Contoh informasi yang didapatkan murid dengan pendekatan ini, misalnya ular termasuk golongan reptil, merkurius adalah planet yang terdekat dengan matahari. Metode yang digunakan dalam pendekatan ini adalah membaca, mengulang, melatih dan lain-lain. Pada dasarnya pembelajaran IPA dengan pendekatan ini akan menimbulkan kebosanan pada diri murid-murid dan tidak memberikan gambaran yang benar tentang IPA.
g. Pendekatan Terpadu (Integrated Approach)
Pendekatan ini intinya adalah memadukan dua unsur pembelajaran atau lebih dalam suatu kegiatan pembelajaran dengan prinsip keterpaduan tertentu. Unsur pembelajaran yang dapat dipadukan dapat berupa konsep dan pro-ses, konsep dari satu mata pelajaran dengan konsep mata pelajaran lain, atau suatu metode dengan metode lain. Dengan prinsip keterpaduan antar unsur pembelajaran diharapkan terjadi peningkatan pemahaman ilmu yang lebih bermakna serta peningkatan wawasan dalam memandang suatu permasalahan.
Prinsip keterpaduan dapat diciptakan melalui jembatan berupa tema sentral sebagai fokus yang akan ditinjau dari beberapa konsep dalam satu atau beberapa bidang ilmu. Selain itu dapat pula melalui jembatan berupa target perilaku atau keterampilan tertentu yang dibutuhkan bukan hanya oleh satu disiplin ilmu saja.
Keragaman unsur yang dilibatkan dalam pembelajaran dapat memperkaya pengalaman belajar siswa, kegiatan belajar menjadi lebih dinamis dan menarik serta dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Selain itu apabila pendekatan terpadu ini dilakukan secara sistematis dapat mengefisienkan penggunaan waktu.